BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hingga saat ini penyakit
lupus di Indonesia masih terus berkembang. Ahli penyakit dalam dari RSUP dr.
Sardjito mengakui adanya angka kenaikan kasus lupus di Yogyakarta maupun di
Indonesia meskipun tidak sedrastis kasus yang lebih umum seperti demam
berdarah. Namun, penyakit tersebut tidak bisa dianggap sepele begitu saja. Menurut
dr. Deddy Nur Wachid A, M.Kes., SpPD-KR dari Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.
Sardjito pada Rabu 11 Maret 2015, "Kebanyakan pasien kita rawat jalan,
memang kalau sudah berat baru pasien diminta mondok. Dan itu dalam tiga bulan
terakhir mencapai 15-20 orang."
Selain itu, ada pula sebuah
riset yang menunjukkan bahwa di seluruh dunia diperkirakan lebih dari lima juta
orang terdiagnosis lupus. Belum ada angka pasti jumlah penderita di Indonesia.
Namun, jika memakai prevalensi di Amerika yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk,
maka diperkirakan jumlah odapus di Indonesia adalah 300 ribu orang. Sekitar 90%
nya adalah wanita aktif usia subur antara 15-45 tahun.
Dalam ilmu kedokteran, lupus
dikenal sebagai peradangan menahun yang dapat mengenai berbagai organ dan
sistem tubuh sebagai reaksi alergi terhadap diri sendiri atau disebut juga
autoimun. Pada penyakit autoimun tersebut mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri,
virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri)
diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.
Kemunculan penyakit lupus
memang sudah lama tetapi ada
sebagian masyarakat yang masih awam atau kurang mengenal tentang penyakit
lupus. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari penyakit lupus baik dari
pengertian, penyebab, tipe, maupun gejalanya sehingga kita dapat menginformasikan
ke orang lain mengenai penyakit lupus. Selain itu informasi yang disebarluaskan
pun dapat menjadi refrensi untuk mencegah timbulnya penyakit lupus dan cara mengobatinya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
maka rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan penyakit lupus?
2.
Apa
penyebab penyakit lupus?
3.
Apa saja
tipe pada penyakit lupus?
4.
Bagaimana
gejala yang muncul pada penyakit lupus?
5.
Bagaimana
pencegahan dan pengobatan untuk penyakit lupus?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka
tujuan penyusunan makalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui pengertian penyakit lupus.
2.
Untuk
mengetahui penyebab penyakit lupus.
3.
Untuk
mendeskripsikan tipe-tipe penyakit lupus.
4.
Untuk mendeskripsikan
gejala yang muncul pada penyakit lupus.
5.
Untuk
mengetahui pencegahan dan pengobatan untuk penyakit lupus.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyakit Lupus
Kadang-kadang
orang kehilangan sebagian toleransi imun terhadap jaringannya sendiri. Semakin
tua, hal ini menjadi semakin berat. Biasanya hal ini terjadi setelah timbul
kerusakan berapa jaringan tubuh yang melepaskan banyak “antigen-sendiiri” yang
bersirkulasi di dalam tubuh dan diduga menimbulkan imunitas didapat dalam
bentuk sel T yang teraktivasi atau antibodi.
Ada
beberapa penyakit spesifik yang disebabkan oleh autoimunitas, antara lain
adalah penyakit lupus. Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari
penyakit Lupus” ini adalah “Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan
kata Erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit ini diberi nama
“Lupus”.
Lupus dikenal sebagai
peradangan menahun yang dapat mengenai berbagai organ dan sistem tubuh sebagai
reaksi alergi terhadap diri sendiri atau disebut juga autoimun. SLE
banyak ditemukan terutama pada wanita produktif. SLE terjadi pada 1 dari 2500
orang pada populasi tertentu dalam masyarakat dengan prevalensi >9,1 lebih
besar pada wanita dibanding pria. Kematian biasanya disebabkan karena gagal
ginjal atau oleh infeksi akibat pemberian imuno terapi.
Penderita
SLE membentuk Ig terhadap beberapa komponen tubuh, terhadap denaturated single stranded DNA atau
nukleohiston. Antibodi tersebut membentuk kompleks dengan DNA yang berasal dari
degradasi jaringan normal dan mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks
lainnnya mungkin mengendap di dinding arteri dan sendi dan membentuk endpan
yang pada pemeriksaan flluoresen menunjukkan gambaran lumby-bumpy. Kompleks imun tersebut mengaktifkan komplemen dan
mengerahkan granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai
glomerulonefritis .
Berbagai
jaringan dilibatkan seperti kulit, membran mukosa, ginjal, otak, dan sistem
kardiovaskuler. Ciri yang khas adalah ruam kulit muka bentuk kupu-kupu.
Kelainan kulit yang lain berupa diskoid, bentuk psoriasis, makulopapular dan
kelainan bulosa.
B. Penyebab Penyakit Lupus
Scleroderma
atau Discoid lupus erythematosus (DLE) adalah suatu penyakit autoimun
dari jaringan ikat dimana jaringan ikat diserang oleh sistem kekebalan itu
sendiri. Pada scleroderma terbentuk jaringan parut berbentuk fibrosis pada
kulit dan berbagai organ tubuh. Jaringan yang diserang scleroderma menjadi
tebal dan mengeras. Penyakit scleroderma disebut juga sistemic sclerosis atau
Discoid Lupus Eritematosus.
Penyebab
penyakit ini belum diketahui. Para peneliti percaya bahwa faktor turunan dan
lingkungan sangat berperan atas kejadian penyakit ini. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada wanita dibandingkan lelaki dan jarang terjadi pada
anak-anak. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic
Lupus Erythematosus (SLE)
Keberadaan
auto-antibodi pada SLE semua sudah
diketahui, akan tetapi pengetahuan tentang mekanisme kemunculan mereka
masih sedikit saja. Terdapat tiga faktor yang menjadi pusat penelitian sekarang
: predisposisigenetik, kelainan fundamental pada sistem imun dan faktor
non-genetik (lingkungan).
a. Faktor
genetik
Bukti yang mendukung suatu predisposisi genetik
memiliki beberapa bentuk.
1. Terdapat suatu angka konkordans yang tinggi (69%) pada
kembar monozigotik
2. Anggota
keluarga yang memiliki risiko yang tinggi mengalami SLE
3. Pada
populasi kaukasia memiliki resiko di Amerika Utara , terdapat hubungan bermakna
antara SLE dan gen DR-2, DR-3 dan kompleks HLA
Peranan
gen HLA pada patogenesis SLE, sekarang ini hanyalah bersifat spekulasi. Gen Ir,
yang terdapat dalam regional HLA-D, mengatur besarnya reaksi Imun terhadap
beberapa antigen. Regulasi semacam itu dapat meluas kepada reaksi imun terhadap
antigen diri sendiri. Tapi perlu dicatat bahwa banyak penyakit imun, yang tidak
sama dengan SLE, mempunyai hubungan dengan HLD_DR3; dan banyak individu dengan
genotipe ini secara klinis tidak terpengaruh. Maka selanjut nya, gen pada
regional D hanya memungkinkan
predisposisi umum terhadap auto-imunitas, dan yang lebih penting lagi, faktor
lain (non-genetik) harus bertindak untuk mengubah suseptibilitas genetik
menjadi penyakit klinis.
b. Faktor
Non-genetik
Dampak faktor non-genetik dalam memulai autoiminitas
dengan baik dicontohkan oleh kejadian oleh kejadian sindrom serupa SLE pada
penderita yang menerima obat-obatan, misalnya, prokainamid dan hidralazin.
Hampir semua pemderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih enam bulan,
menderita antibodi antinuklir, dan gambaran klinis SLE timbul pada 15-20%
penderita. Hormon seks nampaknya mempunyai pengaruh yang besar terhadap
timbulnya SLE. Androgen melindungi, sebaliknya esstrogen justu membantu
perkembangan SLE. Wanita merupakan predisposisi utama penyakit ini (10:1). Sama
halnya dengan beberapa penyakit lain yang etiologinya tidak diketahui, virus
telah dicurigai sebagai penyebab SLE. Daya pendorong utama hipotesis virus ini,
datang dari penelitian tentang penyakit yang mirip lupus pada mencit NZB.
Tetapi bukti peranan virus pada SLE manusia sangat lemah. Walau terdapat
pernyataan yang bertentangan, partikel virus tidak dapat diperlihatkan secara
ulang didalam jaringan penderita lupus, dan antigen virus belum dapat
diperlihatkan didalam kompleks imun.
c. Faktor
Imunologis
Melihat
sekelompok autoantibodi yang telah digambarkan tersebut diatas, tidak akan
mengagetkan bila hiperaktivitas sel B merupakan dasar patogenesis SLE. Terdapat
bukti yang sangat banyak, menyatakan bahwa sel B “sedangkan diaktifkan” pada
penderita yang menderita SLE. Aktivitas sel B ini bersifat poliklonal, dan
seperti terdapat peningkatan produksi antibodi terhadap antigen diri sendiri maupun
antigen non-diri sendiri. Apa yang menjadi dasar hiperaktivitas sel B? Dalam
teori, aktivasi sel B yang berlebihan dapat disebabkan oleh suatu kerusakan
instrinsik di dalam sel B sendiri, rangsangan yang berlebihan dari sel T
penolong, atau adanya cacat pada sel T-supresor, yang gagal menekan respon sel
B. Penelitian akhir-akhir ini dengan berbagai model SLE murine dan analisis
populasi sel Imun pada penderita SLE mengungkapkan bahwa hiperaktivitas sel B
muncul dari bermacam-macam mekanisme, dan bukti yang melibatkan tiga mekanisme tersebut diatas telah
ditemukan. Jadi kelihatan bahwa SLE merupakan suatu sindrom yang dapat
diakibatkan oleh berbagai bentuk berbeda kekacauan imunologis. Seperti halnya
dengan model binatang yang berbeda, cacat genetik pada sel T-penolong dapat
menyolok sekali pada beberapa penderita, sebaliknya, pada sebagian penderit
lainnya suatu kombinasi hiperaktivitas
sel B intrinsik dan penurunan aktivitas sel T-supresor kemungkinan akan
menentukan beagi pembentukan autoantibodi.
Bila
diringkas, SLE merupakan penyakit multifactorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, hormonal, dan faktor lingkungan, yang semua
dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B,
sehingga menghasilakan pembuatan berbagai auto antibodi polispesifik. Setiap
faktor mungkin diperlukan, tetapi belum cukup menimbulkan gejala penyakit
tersebut, dan kegunaan secara relatif berbagai faktor tersebut mungkin
berbeda-beda pada setiap individu yang berlainan.
C.
Tipe-tipe Penyakit Lupus
Penyakit
lupus terbagi kedalam tiga tipe, yaitu :
a. Lupus
eritematosus sistemik ( Systemyc lupus
erythermatosus / SLE).
Jenis lupus inilah yang paling sering
dirujuk masyarakat umum sebagai penyakit lupus. SLE dapat meyerang jaringan
serta organ tubuh mana aja dengan tingkat gejala yang ringan sampai parah.
Gejala SLE juga dapat datang dan tiba-tiba atau berkembang secara
perlahan-lahan dan dapat bertahan lama atau bersifat lebih sementara sebelum
akhirnya kambuh lagi.
Banyak yang hanya merasakan beberapa
gejala ringan untuk waktu lama atau bahkan tidak sama sekali sebelum tiba-tiba
mengalami serangan yang parah. Gejala-gejala ringan SLE, terutama rasa nyeri
dan lelah berkepanjangan, dapat menghambat rutinitas kehidupan. Karena itu para
penderitan SLE bias merasa tertekan, depresi, dan cemas meski hanya mengalami
gejala ringan.
Penyakit ini merupakan prototype kelainan
autoimun sistemik, ditandai dengan bermacam-macam antibody, terutama Anti Nuclear Antibodi (ANA). Antibodi
anti nucleus sering ditemukan dengan cara immunoflourensi tidak langsung. Pola
imunoflourensi (homogeny, perifer, berbintik, nukleoler). Meskipun tidak
spesifik dapat menunjukan tipe dari antibody yang beredar.
Meskipun demikian, antibody antinukleus didapatkan pada kelainan autoimun lain dan
dapat mencapai 10% pada manusia normal. Tetai adanya antibody DNA anti untai
ganda (asli) dan anti smith mengarahkan kuat kepada SLE.
Antibodi antinucleus tidak memasuki sel
utuh. Namun, nucleus sel yang rusak bereaksi dengan antibody antinukleus,
kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang homogen.
Selain antibody antinucleus, penderita SLE
juga menunjukan adanya berbagai macam antibody antara lain terhadap elemen
darah (Sel darah merah, trombosit, dan leukosit). Pada kasus kronik, pembuluh
darah menunjukan penebalan fibrosa dan penyempitan lumen.
SLE menunjukkan adanya berbagai macam
antibody antara lain terhadap ginjal dan kulit. Antibody terhadap ginjal terlihat
pada hampir semua kasus SLE. Ada lima bentuk lupus nefritis.
1. Kelas
1 : Normal pada mikroskop cahaya, mikroskop electron, dan mikroskop flouresen
jarang.
2. Kelas
2 : Glomerulonefritis lupus mesangial, ditemukan pada 25% penderita,
dihubungkan dengan adanya hematuria atau proteinuria minimal sedikit
peningkatan matriks dan sel mesangial dengan 1g mesangial glanuler dan deposit
komplemen.
3. Kelas
3 : Penderita berhubungan dengan hematuria berulang. Proteinuria sedang dan
insufisiensi ginjal ringan. Pembengkakan glomerolus fokal dan segmental dengan
proliferasi endotel dan mesangial.
4. Kelas
4 : penderita, kebanyakann dari mereka menunjukan gejala yang jelas, dengan
hematuria mikroskopik sampai dengan hematuria yang nyata, hipertensi dan
hilangnya laju filtrasi glomerulus.
Antibody terhadap kulit dengan gejala khas yaitu
eritema termasuk jembatan hidung. Juga ditemukan lesi kulit bervariasi dari
eritema sampai bulla. Lesi akan menjadi lebih parah oleh sinar matahari. Secara
mikroskopik terdapat regenerasi lapisan
basal dan deposit 1g dan komponen pada batas dermis.
b. Lupus eritematous discoid (discoid lupus erythematosus/DLE)
Jenis lupus yang hanya menyerang kulit menyerupai SLE
hanya 35% penderita mengalami antibody antinucleus positip.
1. Berbeda
dengan SLE, Hanya lesi kulit yang menunjukan deposit 1g komplemen pada membrane
basal.
2. Setelah
beberapa tahun, penderita bermanifestasi
sistemik.
DLE biasanya dapat dikendalikan dengan menghindari
paparansinar matahari.
c. Lupus
akibat penggunaan obat
Obat-obatan seperti hidralazin, isoniazid
sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom seperti LE.
Sindrom seperti LE meskipun melibatkan banyak organ, penyakit ginjal dan
susunan saraf pusat jarang terjadi. Antibody DNA dan untai ganda jarang
terbentuk, tetapi antibody antihiston sering ditemukan. LE yang disebabkan obat
sering menyembuh setelah obat dihentikan.
D.
Gejala
Penyakit Lupus
Derajat gejala pada penyakit
dapat berubah-ubah sesuai dengan kompleks imun. Penyakit tersebut menunjukkan gejala berupa :
a. Ciri yang khas adalah
ruam kulit muka bentuk kupu-kupu. Kelaianan kulit yang lain berupa diskoid,
bentuk psoriasis, makulapapular, dan kelainan bulosa. Ruam tersebut berwarna
merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly
rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh,
menonjol dan kadang-kadang bersisik.
b.
kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari
c.
timbulnya gangguan pencernaan,
d.
penderita sering merasa lemah,
e.
kelelahan yang berlebihan,
f.
demam dan pegal-pegal. ,
g.
anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang
dihancurkan
h.
rambut yang sering rontok,
i.
rasa lelah yang berlebihan,
Menurut American College Of
Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang
ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai
berikut:
a.
Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga
seperti ada bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly
Rash.
b.
Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang
ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit
sekitarnya.
c.
Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena
sengatan sinar matahari.
d.
Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
e.
Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak.
Gejala ini dijumpai pada 90 % odapus.
f.
Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput
pembungkusnya terisi cairan.
g.
Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
h.
Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi,
kejang, stroke, dan lain-lain.
i.
Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan
trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
j.
Tes ANA (Antinuclear Antibody) positif.
k.
Gangguan sistem kekebalan tubuh.
E.
Pencegahan
dan Pengobatan Penyakit Lupus
Dalam
melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah
pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan
benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada
tentang gejala penykit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan.
Biasanya
paramedic akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear Antibodi) bisa positif, dilaboratorium dan patologi. Bila
sudah diketahui diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan
berupa terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid
(antipenurun kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan,
dengan pemberian obat demam dan penghilang rasa sakit. Untuk melakukan upaya
preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan di
Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi petugas-petugas
pelayanan kesehatan juga harus di tingkatkan agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien.
Pengembangan
metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu dilakukan. Pasien juga
harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahanya dan bagaimana
gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit
lupus. Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan
kelurganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan
lupus. Disarankan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang
dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya
berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempuyai dampak psikologis
dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini
peran sarjana kesehatan masyarakat selaku tenaga kesehatan yang berorientasi
pada upaya preventif dan promotif sangat diperlukan. Masyarakat harus secara
intensif diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, gejala yang ditimbulkan,
serta bagaimana cara pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga
harus diperhatikan karena seperti telah dijelaskan dalam penyebab penyakit
lupus bahwa faktor yang diduga menyebabkan lupus ada beberapa macam diantaranya
faktor lingkungan.
Masalah
lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan
obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aan dan efektif. Dibandingkan dngan
penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran masalahnya. Upaya
preventif yang harus dilakukan adalah berusaha mengembangkan
penelitian-penelitian mengenai peyakit lupus mengingat bahaya dan dampak
negative yang bisa ditimbulkan oleh penykit ini. Hal yang harus dilakukan
penderita lupus (odipus) agar penykit lupusnya tidak kambuh adalah:
a. Menghindari
stress
b. Menjaga
agar tidak langsung terkena sinar matahari
c. Mengurangi
beban kerja yang berlebihan
d. Menghindari
pemakaian obat tertentu
Odipus
dapat memeriksakan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit ini, dokter spesialis
penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi
imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat
teratur yang di brikan dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan
dapat hidup layakya orang normal. Dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan,
mengingat keluarga adalah orang yang paling dekat dn yang selalu berinteraksi
dengan odipus. Dukungan (social support) dalam teori ilmu psikologi merupakan
salah satu medis bertahan dari stress (coping stress) yang mampu memberi
pengaruh besar.
Pengobatan penyakit lupus
tergantung dari :
a.
Tipe lupus.
b.
Berat ringannya lupus.
c.
Organ tubuh yang terkena.
d.
Komplikasi yang ada.
Tujuan pengobatan Lupus adalah :
a. Mengurangi peradangan pada
jaringan tubuh yang terkena.
b.
Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Pada pengobatan Lupus
digunakan dua kategori obat :
a.
Kortikosteroid
Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan dan
merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem, pil atau
cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet dosis rendah. Jika
kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid bentuk tablet atau suntikan dosis
tinggi. Bila kondisi teratasi maka penggunaan dosis diturunkan hingga dosis
terendah untuk mencegah kambuhnya penyakit.
b.
Nonkortikosteroid
Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan nyeri dan
bengkak pada sendi dan otot. Kongres Internasional Lupus di New York melaporkan
beberapa obat baru untuk lupus. Salah satu obat baru adalah LymphoStat-B,
bekerja menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte
stimulator). Limfosit B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi, antibodi yang salah arah pada pasien lupus.LymphoStat-B
termasuk obat golongan antibodi monoklonal, yang mengenal secara khusus
aktivitas biologis protein BLyS yang menstimulasi limfosit B , kemudian
menghambat aktivitas protein tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Berkurangnya produksi antibodi
menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah dikontrol.
Obat baru ini telah mendapat persetujuan FDA,
melalui jalur cepat, karena dianggap amat potensial sebagai obat penyakit SLE.
Uji klinik telah membuktikan manfaat dan keamanan obat ini untuk mengobati
penyakit lupus. Aktivitas penyakit lupus menurun. Obat tersebut juga memulihkan
aktivitas auto imun kembali ke normal. Pada uji klinik tersebut juga dijumpai
pengurangan jumlah limfosit B sebesar 12 persen-40 persen serta pengurangan
kadar anti-dsDNA (double-stranded DNA); anti-dsDNA adalah salah satu kriteria
penting untuk penyakit lupus. Obat lain yang serupa LymphoStat B yang
dilaporkan hasil uji kliniknya adalah rituximab (antilimfosit B) dan
infliximab, yang mempunyai aktivitas anti-TNF (Tumor Necrosing Factor).
Peneliti lain melaporkan dehydroepiandrosterone (DHEA) dapat
mengurangi keperluan dosis prednisone untuk pasien lupus. Khusus untuk pasien
lupus dengan gangguan di ginjal (lupus nefritis), setelah mendapat obat
siklofosfamid, sekarang ada 2 pilihan untuk obat pemeliharaan (maintenance),
yaitu azatioprin atau mycophenolate mofetil yang ternyata hasilnya lebih baik
dibandingkan dengan siklofosfamid. Masih dalam penelitian awal adalah
pengobatan lupus dengan cangkok sumsum tulang, yang hasilnya cukup memberi
harapan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lupus dikenal sebagai
peradangan menahun yang dapat mengenai berbagai organ dan sistem tubuh sebagai
reaksi alergi terhadap diri sendiri atau disebut juga autoimun. SLE
banyak ditemukan terutama pada wanita produktif.. Terdapat tiga faktor yang
menjadi penyebab terjadinya penyakit lupus yaitu faktor genetik, non-genetik,
dan imunologis.
Ada 3 tipe penyakit lupus
yaitu Lupus
eritematosus sistemik ( Systemyc lupus
erythermatosus / SLE), Lupus
eritematous discoid (discoid lupus
erythematosus/DLE), Lupus akibat penggunaan obat. Penyakit lupus tersebut
dapat meyerang jaringan serta organ tubuh mana aja dengan tingkat gejala yang
ringan sampai parah. Ciri yang khas adalah ruam kulit muka, ruam tersebut berwarna
merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu.
Penyakit
lupus pada pasien seringkali terlambat diketahui, oleh karena itu masing-masing
individu dapat melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear Antibodi). Bila sudah
diketahui diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan. Tujuan pengobatan
Lupus adalah dengan mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena dan
menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh. Pada pengobatan Lupus digunakan dua
kategori obat yaitu kortikosteroid dan
nonkortikosteroid.
B.
Saran
Penyakit lupus bukanlah
penyakit sepele. Penyakit tersebut dapat berdampak buruk bagi penderita karena
antibodi yang dihasilkan oleh tubuh akan menyerang dirinya sendiri. Oleh karena
itu, masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa itu lupus,
gejala yang ditimbulkan, serta bagaimana cara pencegahannya. Masyaraka pun
harus memperhatikan kebersihan dan kesehatan lingkungan karena seperti telah
dijelaskan dalam penyebab penyakit lupus bahwa faktor yang diduga menyebabkan
lupus ada beberapa macam diantaranya faktor lingkungan.